dalam kondisi dunia yang tidak menentu sekarang ini,
manuver Amerika Serikat dan China membuat tingkat
eskalasi konflik di kawasan Asia Pasifik makin meningkat.
Rencana penempatan 2.500 pasukan marinir AS di Darwin, Australia
Utara dan latihan perang Angkatan Laut Pastikan Pembebasan Rakyat
(PLA) China di Samudera Pasifik Barat, dapat memicu perang baru di
kawasan. Kebijakan Presiden AS Barack Obama tentang penempatan
pasukan itu, yang diumumkan secara resmi beberapa hari menjelang
kedatangannya di Bali untuk menghadiri KTT Asia Timur 19
November 2011, mengundang reaksi banyak kalangan. Akan tetapi
bagi Obama kehadiran militer AS di Asia Pasifik sebagai kekuatan
Pasifik. Sebelumnya, Obama malah menyalahkan China sebagai biang
keladi sengketa di Laut China Selatan (LCS). China sering bersitegang
dengan Vietnam dan Filipina terkait soal perbatasan di LCS, serta
dengan Jepang di Laut China Timur. Bahkan kata Obama, konflik
LCS dapat menjadi "titik api" perang baru di Asia. Sementara itu,
kemunculan China sebagai kekuatan regional yang tengah tumbuh
menjadi kekuatan global dalam bidang politik, ekonomi dan militer,
juga menimbulkan berbagai reaksi di kawasan Asia Pasifik. Dari
aspek politik dan keamanan, tidak sedikit negara di kawasan ini yang
memandang curiga dengan kebangkitan China. Beberapa kekuatan
besar seperti AS, Jepang dan India pun menjalin kerja sama yang
tampaknya sebagai upaya untuk membendung kekuatan China.
Dalam artikel berjudul "Pergeseran Kekuatan di Asia Timur
dan Konsekuensi bagi ASEAN: Persepsi Ancaman dan Kerja Sama
Keamanan Regional", Slinfiah F'. Muhibat menguraikan Hubungan
AS-China akan tetap diwarnai oleh ketidakpastian, sementara unsurunsur kompetisi dan rivalitas antara China dan Jepang akan semakin
menguat. Di lain pihak, peningkatan hubungan China-India yang
terjadi belakangan ini tetap diwarnai oleh sejumlah persoalan sensitif
seperti sengketa wilayah. Berbagai kerangka kerja sama keamanan
yang selama ini ada, termasuk institusi atau kerangka berbasis ASEAN
PENGANTAR REDAKSI 277
dianggap tidak sepenuhnya dapat menjalankan fungsi tersebut.
Di satu pihak, sistem aliansi jelas tidak dapat diharapkan mampu
menjadi faktor penenteram bagi China. Sementara, sistem dialog
dan kerja sama mutilateral ASEAN dianggap terlalu menekankan
mekanisme normatif sehingga konsekuensinya adalah tidak memiliki kapasitas untuk menyelesaikan konflik. Dengan prediksi yang
demikian, membangun sebuah tatanan regional berdasarkan arsitektur keamanan regional yang mampu meredam ancaman-ancaman
tersebut sangat diperlukan oleh ASEAN.
Linn A. Alexandra dalam artikel berjudul "ASEAN Institute for
Peace and Reconciliation: Prospek dan Tantangan", menyoroti pentingya gagasan mengenai pembentukan A1PR yang dilontarkan
sebagai bagian dari upaya untuk melakukan terobosan dalam resolusi
konflik di ASEAN dengan harapan akan menghasilkan sejumlah
rekomendasi penting untuk menyelesaikan sejumlah permasalahan
keamanan yang dihadapi ASEAN. AIPR juga diharapkan menjadi
jawaban bagi absennya mekanisme regional yang mampu berperan
efektif dalam penanganan konflik di kawasan setelah mekanisme
penyelesaian sengketa gagal, yaitu High Council, yang tidak pernah
digunakan karena benturan kepentingan di antara sesama negara
anggota. Di sisi lain, Terms of Reference (ToR) yang diadopsi pada
Juli 2012 mendeskripsikan mandat dan lugas AIPR yang masih jauh
dari apa yang diharapkan. Meski peran AIPR menjadi sangat relevan
untuk menghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang bermanfaat
untuk menyelesaikan konflik, akan tetapi dengan mandat dan
struktur yang ditetapkan saat ini di dalam ToR, AIPR nampaknya
akan sulit untuk berperan secara efektif karena adanya sejumlah
pembatasan internal. Namun demikian, dengan kemauan politik dari
negara-negara anggota ASEAN untuk membangun kapasitas AIPR ke
depan, maka harapannya AIPR mampu berperan efektif dan relevan
menghadapi berbagai tantangan keamanan di kawasan.
Artikel lis Gindarsah dan Siska Han/ani berjudul "Meninjau
Konflik Armenia-Azerbaijan: Prospek dan Modalitas Peran Indonesia"mengulas dalam hubungannya dengan konflik antara Armenia
dan Azerbaijan, Indonesia memiliki prospek dan modalitas yang
cukup baik untuk berperan secara konstruktif dan sekaligus dapat
278 ANALISIS CSIS, Vol. 42, No. 3, 2(113: 276-279
mempromosikan kepentingan nasionalnya. Pemerintah Indonesia saat
ini memiliki hubungan bilateral yang sangat baik dengan Azerbaijan.
Sebagai sesama negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI),
Azerbaijan merupakan salah satu pemasok utama kebutuhan energi,
khususnya minyak bumi bagi Indonesia. Perdagangan antar kedua
negara pun meningkat secara signifikan dari US$ 101,10 juta di tahun
2007 menjadi US$ 1,76 miliar di tahun 2012. Sementara, pada tahuntahun terakhir, pemerintah Azerbaijan secara aktif mencari dukungan
internasional untuk meningkatkan pengaruh diplomatiknya dalam
konflik teritorialnya dengan Armenia. Sikap ini jelas merupakan
sebuah peluang bagi pemerintah Indonesia untuk memperkuat
hubungan ekonomi dan investasi dengan negara tersebut. Bidang
lainnya, yang dapat menjadi kerja sama di masa depan adalah investasi
energi Indonesia di Azerbaijan, pembangunan kilang minyak, pabrik
alumunium dan pupuk di Indonesia.
Sementara itu, Lnky Djani dan Philips J. Vcrmonte dalam penelitiannya berjudul "Vote Buying di Indonesia: Motif, Modus dan Pola"
menguraikan bahwa berbeda dengan transaksi pada pasar (ekonomi),
pasar jual-beli suara tidak memiliki kontrak tertulis yang mengikat
(secara hukum) antara pembeli dan penjual. Kandidat secara rasional
akan menghindari adanya kontrak tertulis karena kekhawatiran dapat
dipergunakan sebagai bukti dalam proses hukum, sehingga hanya
bersandarkan pada gentleman agreement. Di sisi lain, penjual suara
(pemilih), terlindungi oleh norma kerahasiaan dari asas langsung,
umum, bebas dan rahasia (luber) sehingga pilihannya di bilik suara
menjadi rahasia. Kandidat juga dalam posisi yang inferior terhadap
broker suara, sehingga tidak jarang politikus bisa dikelabuhi oleh
para broker suara. Kondisi demikian menjadikan jual-beli suara pada
dasarnya bersifat untung-untungan. Karena sifatnya yang nir-kontrak
berlandaskan hukum, maka mekanisme monitoring vang efektif,
sangat krusial guna memastikan pemberian secara positif berwujud
pada dukungan suara.
Dalam terbitan jurnal Analisis CSIS ini, juga disajikan tinjauan
perkembangan politik, ekonomi, perkembangan regional dan global.
Riuh penjaringan calon presiden, masalah korupsi SKK Migas
dan tragedi penegakan hukum di Indonesia menjadi sorotan di
mata masyarakat. Sementara itu, kondisi ekonomi yang semakin
memburuk, akan tetapi terbuka peluang untuk perbaikan, serta isu
dominasi ketimbang kerja sama pada tingkat regional dan global,
mengisi tinjauan perkembangan yang diulas secara mutakhir oleh
para staf peneliti CSIS.